Pasang IKLAN BARIS GRATIS! DAFTAR | LOGIN


Coretan Filosofi Arsitektur Omah Ndeso Eko Prawoto

    Eko Prawoto bersama istri
    CORETAN FILOSOFI ARSITEKTUR Omah Ndeso Eko Prawoto
    Area ruang tamu dengan dekorasi klasik dan Teras rumah bergaya tempo dulu
    Bagian dalam lumbung sebagai museum teknologi pertanian
    Kamar tidur utama dengan ranjang kuno

    Rumah atau omah dalam masyarakat Jawa memiliki arti yang mendalam. Dalam literatur-literatur Jawa banyak disebutkan, omah merupakan jagad kehidupannya yang tertuang dalam sebuah bangunan. Masyarakat Jawa mendesain omah, sebagai representasi dari makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos adalah lingkungan alam sekitarnya, dan mikrokosmos adalah arsitektur bangunan dari tempat tinggal itu sendiri. Kiranya hal tersebutlah yang diusung oleh Eko Prawoto dalam membangun hunian tempat tinggalnya. Rumah tak hanya sebagai tempat tinggal atau tempat berteduh saja namun harus memberi berkah bagi penghuni dan lingkungan sekitarnya. Kecintaan seseorang terhadap suatu hal, bila diwujudkan akan menghasilkan sesuatu yang amat bernilai bahkan syarat makna. Kecintaan Eko terhadap alam dan rumah kampung contohnya. Bermula dari keprihatinan beliau kepada desain-desain rumah yang berada di kawasan pedesaan saat ini, dimana masyarakat lebih memilih konsep bangunan modern yang terkesan 'kekotaan'. Hal tersebut membuat hatinya tergerak untuk melestarikan dan mendirikannya sebagai hunian pribadi.

    “Jujur saja saya agak heran dengan orang-orang jaman sekarang. Membangun rumah di desa tapi desain rumahnya terkesan 'kekota-kotaan'. Padahal bangunan rumah kampung yang sudah ada sejak dahulu memiliki desain yang cantik dan penuh filosofi di dalamnya. Mungkin kalau untuk fasilitas bisa dipadukan dengan yang lebih modern, tapi ya jangan kemudian menghilangkan identitas rumah kampungnya secara keseluruhan. Kalau dibiarkan seperti itu, nanti bisa saja anak cucu kita tidak akan mengenal warisan-warisan budaya nenek moyang yang telah punah tergerus oleh jaman,” paparnya.

    Rumah yang beralamat di dusun Kedondong, Banjararum, Kalibawang, Kulon Progo, Yogyakarta tersebut memang berbeda dengan rumah-rumah yang lain di sekitarnya, baik dari konsep maupun ornamen yang ada di dalamnya. Dituturkan oleh pria yang berprofesi sebagai dosen di Universitas Kristen Duta Wacana tersebut, bahwa dalam perjalanan membangun hunian tersebut tidak dikonsep maupun desain pasti mengenai bentuk bangunannya akan seperti apa nantinya. “Dari awal saya sebenarnya tidak punya konsep dalam membangun rumah ini, hanya istri saya bercita-cita punya rumah ndeso dan berada di lingkungan ndeso. Karena memang dari dulu sudah tinggal di daerah perkotaan, saya ingin menghabiskan hari tua hidup di lingkungan yang lebih menentramkan. Dalam membangun rumah ini pun tidak ada gambar desain pastinya. Intinya saya ingin mengapresiasi pepohonan, kontur alam, serta budaya pedesaan yang sudah ada sejak dahulu kala. Kebanyakan material dan barang lawas berasal dari rumah lama yang sekarang ditempati anak saya. Ya, bisa dibilang konsepnya semacam rumah tumbuh,” tutur Eko.

    Rumah yang berdiri di atas lahan total seluas kurang lebih 1955 meter persegi ini terbagi menjadi 7 bangunan utama yang berdiri diantara sela-sela pohon berukuran besar sekitarnya. Nuansa pedesaan sangat kental hadir pada hunian milik Eko Prawoto ini. Suasana pedesaan yang nyaman, damai, serta jauh dari hiruk pikuk keramaian kota begitu terasa ketika berada di area halaman rumah. Melihat sekeliling rumah, berbagai jenis pepohonan dan tumbuhan lainnya hadir sebagai perindang. Pepohonan ini mempunyai peran sebagai paru-paru alami dan menyaring polusi udara. Di sini kita bisa menghirup udara segar dan bersih jauh dari polusi udara. Semilir angin bertiup di antara dedaunan menambah kesan damainya pedesaan. Terasa begitu sejuk ketika menapakan kaki masuk ke dalam pekarangan dan taman. Kontur alam yang memiliki ketinggian berbeda di setiap sudut menjadi daya tarik tersendiri bagi rumah tersebut.

    Memasuki bagian dalam rumah yang telah ditempati selama kurang lebih 6 tahun tersebut, terdapat sebuah bangunan rumah adat daerah Paiton nampak berdiri apik bersanding dengan alam sekitarnya yang begitu asri. Bangunan tersebut merupakan bekas bongkaran rumah lawas yang diperoleh Eko dari tempat asalnya. Kesan otentik ditampilkan dari finishing kayu yang sengaja dibiarkan usang sehingga menimbulkan kesan rustic yang kental. Tepat berada di sebelahnya, terdapat sebuah bangunan limasan khas daerah Kokap yang berfungsi sebagai hunian utama. Di bagian depan rumah, berdiri sebuah gazebo kayu lengkap dengan ukiran-ukiran yang memiliki bentuk layaknya gazebo asli Madura. Gazebo tersebut digunakan sebagai area bersantai sembari menikmati suasana luar rumah nan sejuk dan asri.

    Memasuki bangunan utama hunian, desain khas ala rumah kampung yang sederhana benar-benar diwujudkan dengan aplikasi furnitur kayu klasik di dalamnya. Berbagai pernak-pernik vintage nampak menghiasi sudut-sudut ruangan yang semakin memperkuat konsep dekorasi yang diusung. Sebuah ranjang tidur besi bergaya klasik lengkap dengan tirai kelambu nampak begitu nyaman sebagai tempat beristirahat di malam hari. Paduan lantai yang mengaplikasikan tegel motif membuat nuansa ala rumah kampung begitu kental di area dalam rumah ini. “Di rumah ini saya benar-benar ingin mengeksplorasi rasa dan keinginan saya terhadap hunian yang nyaman, tanpa harus menghadirkan hal-hal berbau modern baik dari desain maupun pernak-pernik dekorasinya. Menurut saya, kenyamanan itu hanya dapat dirasakan bukan divisualkan. Kalau dilihat secara visual mungkin rumah ini terkesan jadul atau ketinggalan jaman, namun di tempat ini saya dapat merasa nyaman dan itu merupakan point terpenting dalam membangun rumah ini,” ujar Eko.

    Menyusuri jalan batu setapak menuju bagian rumah selanjutnya, terdapat sebuah bangunan sederhana khas rumah kampung yang biasa digunakan Eko untuk menjamu tamu yang datang ke rumahnya. Tepat di tengah ruangan terdapat sebuah table set kayu memanjang sebagai tempat duduk bagi tamu. Di atas meja tersebut, kurungan ayam berbahan bambu nampak menggantung sebagai cover lampu penerangan ruang. Pernak-pernik vintage dan barang-barang yang lazim ditemui di daerah pedesaan seperti luku atau alat untuk membajak sawah, tampah atau wadah dari anyaman bambu, hingga lesung menjadi dekorasi penghias ruangan tersebut. Ruangan tersebut juga sering digunakan Eko untuk menghabiskan waktu membaca dan sekedar mencari inspirasi.

    Di salah satu sudut area halaman rumah, nampak sebuah bangunan kayu dengan konsep yang cukup menarik. Bangunan tersebut di desain ala rumah panggung yang lokasinya berada di atas lahan dengan kemiringan yang cukup curam. Kombinasi material kayu dengan bukaan kaca lebar di sisi-sisi bangunannya membuat kesan luas dan lega ketika berada di dalamnya, ditambah dengan view persawahan hijau yang semakin memanjakan mata. Melangkah lebih ke bawah lagi, terdapat sebuah bangunan bekas lumbung padi yang berasal dari pulau Bawean sebagai mini museum berisi alat-alat pertanian dan perkakas tradisional. Hal tersebut merupakan cita-cita Eko Prawoto untuk dapat melestarikan teknologi jaman dahulu agar tidak punah. “Nantinya saya ingin mempunyai semacam museum kecil yang berisi peralatan pertanian dan rumah tangga jaman dahulu yang dapat diakses oleh siapapun. Harapan saya agar anak-anak generasi sekarang mau mengenal teknologi peninggalan dari nenek moyang yang sudah ada sejak dahulu,” pungkas Eko mengakhiri perbincangan. Farhan-red

    PARTNER
    Archira - Architecture & Interior    A + A Studio    Sesami Architects    Laboratorium Lingkungan Kota & Pemukiman Fakultas Arsitektur dan Desain UKDW    Team Arsitektur & Desain UKDW    Puri Desain